Alam dan manusia memiliki cara sendiri untuk bertahan hidup. Menyoal kasus Pengeboman Ikan yang dilakukan oleh orang yang menggantungkan hidupnya di laut, untuk alasan apapun sangatlah tidak benar menggunakan bahan peledak untuk mengambil ikan di laut karena bukan hanya ikan yang mati, karang tempat hidupnya pun ikut hancur.
Sebagaimana orang yang tinggal di darat, melakukan pembakaran hutan untuk perluasan lahan garapan atau sekadar membuka lahan untuk mendirikan rumah tinggal, demikian pun orang yang tinggal di pesisir pantai dan laut, mereka butuh wilayah tempat tinggal dengan membuka perluasan wilayah huni dan untuk menyambung hidup, mereka mengambil ikan di laut dengan cara keliru, mereka tidak tahu itu sangat merugikan diri mereka dan anak cucu mereka.
Misi mengedukasi masyarakat nelayan tentang bahaya dan risiko menangkap ikan dengan cara ilegal saya tuangkan dalam novel Manusia Perahu Terakhir (MPT), pada Bab 1 “Kampung Laut” dan Bab 2 “Salah Tangkap”. Novel tentang kehidupan masyarakat Bajau (Bajo) yang menjalani hidup dan menggantungkan hidupnya di laut.
Pengeboman ikan yang terjadi di Wakatobi saat ini menjadi isu nasional, sampai para pihak membuat seminar dan webinar dadakan untuk membahas isu tersebut, dan semua sepakat ini kondisi WARNING untuk laut kita, sehingga kita lupa bahwa ada orang yang bertahan hidup di kondisi ekonomi yang sulit saat ini harus menempuh cara bahaya, selain berhadapan dengan hukum juga membahayakan diri sendiri, kehilangan nyawa dengan kondisi tubuh mengenaskan.
Alih-alih membawa hasil tankapan ikan buat keluarga, malah membawa kabar Sang Pencari Nafkah Penyambung Napas Keluarga berurusan dengan polisi bahkan tidak pulang lagi ke rumah entah sampai beberapa kali Idulfitri tanpa kehadiran Sang Pencari Nafkah.
Sungguh ini kondisi yang sulit. Tragisnya lagi, nelayan yang mengebom ikan tidak paham soal hukuman yang akan menjerat mereka, mereka hanya tahu harus mendapatkan hasil hari ini supaya kekuarga bisa makan, supaya ada sedikit uang untuk putra-putri yang sedang sekolah di kota.
Laut Tercemar, Ikan-ikan Mejauh Sulit Didapatkan
Satu bulan terakhir, diposting dalam group whatsApp POSBI INDONESIA, sudah 2 kasus orang Bajo yang hilang di laut. Hilang saat melaut, konon karena menempuh jarak yang sangat jauh, sedangkan kondisi perahu tidak sesuai dengan kondisi laut. Perahu kecil, hanya dengan menggunakan mesin ketinting, sedangkan jarak tempuh ke wilayah tangkap ikan membutuhkan kapal besar, tapi mau bagaimana lagi, Nelayan Bajo harus melaluinya, keluarga harus makan.
Wilayah tangkap ikan saat ini sulit, 10 tahu lalu kita masih bisa memancing di belakang rumah atau di bawah kolong rumah kita, sekarang harus menempuh jarak bermil-mil untuk mendapatkan ikan.
Sampah dan limbah penambangan juga menyumbang kondisi laut tercemar, keruh, suhu air panas, membuat ikan berenang menjauh, berpindah tempat, sehinggah sulit didapatkan.
Masyarakat Bajau di Bombana, Sulawesi Tenggara, beberapa kali menelpon dan curhat ke saya terkait kampung mereka yang sering banjir air tanah keruh kiriman dari darat. Air laut jadi keruh, dan nelayan harus menempuh jarak yang sungguh jauh untuk ke wilayah tangkap.
Nelayan bertaruh dengan waktu. Jarak tempuh melaut yang jauh tak mungkin dilalui dengan mendayung. Nelayan harus pakai perahu mesin. Jarak yang jauh juga membutuhkan bahan bakar lebih, bahan bakar mahal, nelayan harus mengutang bahan bakar dengan janji akan dibayar jika hasil tangkapan laku, namun juga tidak ada jaminan hasil yang didapat bisa menutupi biaya bahan bakar, bahkan pulang tak membawa hasil dan merugi, utang tak terbayar, bahkan membengkak.
Sosialisasi ilegal fishing, bahaya atau risikonya perlu dilakukan secara intensif dan masif. Kami melalui Lembaga Bajau Foundation dan POSBI (Persatuan Orang Sama Bajau Indonesia) sangat butuh berkolaborasi dengan pihak pemerintah dan swasta dalam program Sosialisasi dan Edukasi Sitem Pengelolaan dan Pemanfaatan Laut kepada masyarakat nelayan khususnya masyarakat Bajau yang tersebar di barbagai pelosok di Nusantara.