Catatan Perjalanan ke Pulau Kera: Suara dari Tanah yang Terancam

Pada tanggal 12 Mei 2025, saya memulai perjalanan menuju Pulau Kera, sebuah pulau kecil di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Perjalanan ini bukan sekadar kunjungan biasa. Ini adalah panggilan hati, sebuah tanggung jawab moral sebagai Ketua Umum POSBI (Perkumpulan Orang Same Bajau Indonesia), ketika saya mendengar kabar bahwa warga Pulau Kera tengah menghadapi ancaman serius: relokasi paksa oleh pemerintah daerah.

Pulau Kera bukanlah sekadar tempat tinggal bagi ratusan jiwa. Ia adalah rumah, tanah leluhur, tempat identitas mereka berakar kuat. Saya datang ke sana bersama sepuluh orang Tim Kuasa Hukum Pulau Kera, tim pendamping POSBI, dan para sahabat seperjuangan yang juga peduli terhadap nasib masyarakat adat di ujung negeri ini.

Empat hari saya berada di sana. Empat hari penuh kisah, air mata, dan semangat perlawanan. Di tengah kampung, saya duduk bersama warga. Kami berdiskusi, mendengar suara mereka satu per satu. Bersama saya hadir pula Ketua DPAC POSBI Pulau Kera, saudara Muh. Syukur (Nopri), Ketua RW, Hamdan Saba, Imam Kampung Abdul Rasyid, dan H. Abdullah Jumila — keturunan dari penghuni pertama pulau ini.

“Kami hanya ingin tetap tinggal di sini. Ini tanah leluhur kami. Laut ini sumber hidup kami,” ucap salah satu warga, suaranya bergetar, matanya menatap horison dengan kecemasan.

Saya mendengar cerita tentang bagaimana anak-anak mereka kini tak bisa tidur nyenyak karena ketakutan. Bagaimana orang tua bingung menjelaskan kepada anak-anak bahwa rumah mereka bisa saja hilang esok hari. Saya menatap wajah mereka dan menyadari, bahwa yang tengah diperjuangkan di sini bukan hanya tempat tinggal. Ini adalah perjuangan untuk keberadaan, untuk mempertahankan warisan budaya, dan harga diri.

Dalam forum terbuka yang kami adakan, saya sampaikan sikap tegas POSBI:

“Rencana relokasi ini bukan sekadar soal teknis. Ini menyangkut identitas, budaya, dan keberlangsungan hidup masyarakat lokal. Masyarakat Pulau Kera memiliki hak untuk tinggal di tanah leluhurnya. Kami akan berdiri bersama kalian.”

Saya sampaikan pula, bahwa pembangunan yang tidak melibatkan warga sebagai subjek hanyalah propaganda. Kami tahu, sering kali dalih “kehidupan layak” disalahgunakan demi kepentingan segelintir pihak. Kami menolak itu.

POSBI mendesak Bupati Kupang untuk membatalkan rencana relokasi. Kami juga menyerukan kepada seluruh pihak agar proses dialog partisipatif dilakukan. Pulau Kera bukan tanah kosong. Pulau Kera adalah sumber kehidupan dan penghidupan.

error: Content is protected !!