A. Asal-Usul Orang Bajau
Suku Sama yang kita kenal sebagai orang Bajau atau Bajo terkenal sebagai suku laut, dikenal sebagai gipsi laut, pola hidup nomaden sebagian suku Sama masih berlangsung hingga sekarang, mengingat sebagian besar mata pencaharian suku Sama adalah pelaut atau nelayan. Berpindah mengikuti cuaca. Mereka ke darat hanya mencari kebutuhan dapur, menjual hasil tangkapan ikan dan memperbaiki perahu, selebihnya di habiskan di lautan.
Pada abad ini pola hidup nomaden semakin berubah ke pola hidup menetap, maka suku Sama tersebar di berbagai belahan bumi pesisir pantai di beberapa negara. Kalau kita mengenal suku Asmat dan suku Dayak sebagai suku pedalaman yang melangsungkan hidupnya atau tinggal di tengah hutan, maka suku Sama adalah suku yang melangsungkan hidupnya di atas laut. Jika Suku Asmat di Papua, Suku Dayak di Kalimantan, suku Makasar di Makasar, suku Bima di Nusa Tenggara Barat, maka Suku Sama mendiami hampir seluruh semenanjung pulau dan pesisir pantai Nusantara bahkan pesisir pantai dunia.
Masyarakat Sama menyebar dari kepulauan Riau, Jambi, Sabah, Malaysia, Maluku, Sulawesi, NTT, pulau Komodo. Selain di Indonesia dan Malaysia mereka juga berada di Thailand, Vietnam, Brunai, Myanmar, Maldives, Afrika Selatan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa penduduk melayu di Madagaskar adalah keturunan suku Sama (Bajau).
Keberadaan suku Sama di beberapa negara ditandai dengan nama-nama tempat, yang mana nama sebuh tempat atau benda tertentu ada dalam bahasa Sama. Misalnya:
Singapore
Singapur, beberapa dekade tahun silam Singapur awalnya bernama Singapore, yang kemudian diucapkan Singgapore dalam bahasa Sama terdiri dari dua kata, yakni Singga dan Pore,Singga artinya Singgah dan Pore yang artinya Pergi.Konon dahulu kala Singgapore adalah semenanjung yang sering didatangi oleh suku Sama sebagai tempat persinggahan dalam pelayaran mereka, setelah beberapa saat berlabuh mereka lalu pergi lagi atau berlayar menuju daerah-daerah lain di belahan bumi ini untuk menjalani kegidupan sebagai pelaut yang mencari nafkah di laut.
Baca juga:
Baca juga: Duata Mandi Mayah Ritual Pengobatan Alternatif Suku Bajau
Baca juga: Erni Bajau Melakukan Sosialisasi Pentingnya Pendidikan ke Desa Bajau Sulaho Kabupaten Kolaka Utara
Baca juga: Kapal Suku Bajau Bernegara Asing Tangkap Ikan di Perairan Indonesia Tidak Titenggelamkan
Baca juga: Suku Bajau Termasuk 5 Suku di Dunia yang Memiliki Kemampuan Super
Baca juga: Erni Bajo Dinda Sama Berjuang untuk Pendidikan Lebih Baik
Sidney
Berikutnya nama ibu kota negara Australia yaitu Sydney, dalam bahasa Sama ada kata sinnei yang artinya kondisi laut yang tenang. Dan di kota Sydney ada teluk (teluk Farm) yang airnya tenang.
Bagaimana dengan suku Sama di Indonesia?
Salah satu suku laut terbesar di Indonesia adalah suku Sama. Di Indonesia suku Sama dikenal sebagai suku Bajau, ada yang menyebutnya Bajo atau Badjou, atau Samah, sampai sekarang tidak diketahui secara pasti asal-usul suku ini. Beberapa sumber menyebutkan Masyarakat Sama berasal dari kepulauan Sulu di Filipina selatan. ada pula yang mengatakan dari Johor Malaysia hal ini ditandai dengan struktur bahasa Sama mirip dengan Bahasa Melayu, dan ada yang mengatakan dari Pulau Sulu Filiphina, ditandai dengan dialek umum Bahasa Sama, sama dengan Bahasa Tagalog. Bahasa Sama adalah bahasa yang diucapkan Suku Bajau/Bajo. Ada Bajo Fak-Fak, Bajo Sorong di Papua, Bajo Torosiaje di Gorontalo, Bajo Luwuk di Sulawesi Selatan, Bajo Ternate, Bajo Labuan di Nusa Tenggara Barat, Bajo Kampung Bunga di Bali, Bajo Mantigola di Wakatobi Sulawesi Tenggara, Bajo Langara di Konawe Kepulauan Sulawesi Tenggara, Bajo Bajoe di Bone Sulawesi Selatan, Bajo Sungai Nyamuk di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur, Bajo Sumenep di Madura, Bajo di Palembang, dan masih banyak lagi suku Sama di penjuru negeri Indonesia yang mereka sebut Suku Bajau.
B. Penamaan Bajo/Bajau Terhadap Suku Sama
Mengapa suku Sama disebut suku Bajau/Bajo?Akan terasa aneh, suku Sama menggunakan Bahasa Sama dan tidak mengenal kata Bajo dalam bahasa sehari-sehari mereka. Kata BAJO/BAJAU tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa Sama, dan kata Bajau adalah penamaan yang diberikan oleh orang yang bukan suku Sama terhadap orang Sama.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) : Bajau1/baยทjau/n1Antr kelompok sosial yang hidup di perahu, berdiam di perairan laut atau selat sekitar pantai timur Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores; 2 rakyat
Kita tidak menemukan Kata Bajo dalam KBBI
Mari kita perhatikan hal berikut:
– suku Batak menggunakan bahasa Batak – suku Jawa menggunakan bahasa Jawa- suku Bali menggunakan Bahasa Bali – suku Makasar menggunakan Bahasa Makasar – suku Bajau menggunakan Bahasa Sama
Suku Bajau/Bajo menggunakan bahasa Sama, kalimat tersebut melahirkan pertanyaan mengapa di Indonesia suku Sama disebut suku Bajau? Suku Sama di Malaysia, Filiphina, Australia menyebut diri mereka Same (orang Sama). Perhatikan dialog berikut:
Jawa : A: Opo kowe wong Jowo ? (Apa kamu orang Jawa)B: Nggih, kulo jowo (iya saya orang jawa)
Palembang :A. Apo Kau womg Palembang? (Apakah Kamu orang Palembang?)B. Iyo, a ku wong Palembang.
Bajau : A. munsie sama ko? (Apakah kamu orang Bajo)B: oho, Sama aku (aku orang Bajo)
Jadi, orang Bajau tidak pernah menghadirkan kata Bajo/Bajau baik dalam pengakuan suku atau dalam bahasa percakapan sehari-hari. Jadi, sejatinya suku Sama tidak pernah mengenal kata Bajo, atau Suku Bajo sendiri tidak pernah tahu kenapa mereka disebut suku Bajo oleh โbagaiโ (orang non Bajo). Kata bagai adalah sebutan yang diberikan orang Bajo pada orang yang bukan suku Bajo, padahal bahasa yang yang mereka gunakan adalah bahasa Sama, bukan bahasa Bajo.
Kembali ke pertanyaan mengapa di Indonesia suku Sama disebut suku Bajo/Bajau penulis beranalisis bahwa dari hasil wawancara langsung beberapa waktu lalu terhadap orang tua dan tokoh adat suku Bajo di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara (di Wakatobi, Buton, Buton Utara,) dan Sulawesi Tengah (Palu, Menui, Morowali) terdapat kesamaan cerita yang mereka kisahkan yakni:Bahwa dahulu kala di negeri Johor adalah sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Datuk Sama, putri Raja Datuk Sama menjalin hubungan cinta dengan seorang pemuda biasa dari kampung laut, pemuda tersebut adalah seorang nelayan. Datuk Sama marah besar mengetahui jalinan cinta putrinya, karena sang putri telah dijodohkan dengan pemuda dari kerajaan lain. Mengetahui cinta keduanya tidak mendapat restu sang Raja, Dinda Sama (Putri Sama) ini melarikan diri bersama kekasihnya dengan menggunakan perahu yang dimiliki pemuda. Mengetahui anaknya melarikan diri bersama pujaan hatinya, Raja Sama murka dan memerintahkan semua hulubalang (prajurit kerajaan) agar berlayar mencari sang Putri dengan sebuah ultimatum bahwa semua hulubalang yang diperintahkan untuk mencari sang putri agar tidak kembali ke kerajaan bila sang putri tidak ditemukan. Maka berangkatlah para hulubalang. Pencarian dilakukan dengan mengerahkan ribuan kapal dan hulubalang yang dipimpin oleh seorang punggawa (sebutan untuk orang yang memimpin pasukan) demi perintah โDatuk Samama di Sombaโ (Raja Sama yang di Sembah). Begitu banyak waktu yang telah dilewati tetapi Dinda Sama tidak ditemukan, hulubalang dan punggawa tidak pernah kembali lagi ke kerajaan.
Dari kisah di atas penulis beranalisis bahwa para punggawa membawa pasukannya menyebar ke seluruh pelosok negeri, karena tidak menemukan Putri Raja para punggawa tidak kembali lagi ke kerajaan dan memulai hidup baru sebagai manusia yang hidup di atas perahu atau kapal mereka dan mendiami pesisir pantai yang mereka jumpai. nilah yang menjadikan suku Sama dapat dijumpai di beberapa negara.Lalu bagaimana dengan Dinda Sama, Putri raja dan suaminya melabuhkan perahu pertama kali di sebuah semenanjung bernama Bajoe. Dinda Sama dan Suaminya lalu menetap, memulai hidup baru, melangsungkan hidupnya, beranak-pinak.Orang-orang tua mengisahkan bahwa suami Dinda Sama bernama Lolo’. Lalu puluhan tahun bahkan beratus-ratus tahun keturunan Dinda Sama dan Lolo’ menyembuyikan identitas mereka, dengan tidak naik ke darat, tidak bergaul dengan orang darat dan melarang untuk tidak keluar kampung.
Seiring perjalanan waktu, perkembangan pengetahuan dan perubahan iklim menggugurkan aturan yang dibuat oleh nenek moyang suku Sama. Maka dibuatlah kebijakan baru bahwa penduduk suku Sama boleh berlayar ke daerah manapun yang diinginkan. Demi untuk kelangsungan hidupnya. Lalu mulailah masyarakat suku Sama berlayar menjelajah lautan dan samudra, menuju ke negeri-negeri seantero Nusantara dengan harapan agar bisa dapat tangkapan ikan lebih banyak dan hidup lebih baik.
Melabuhkan perahu di tempat yang baru, bertemu dengan penduduk lokal daerah setempat pasti menimbulkan pertanyaan, Dari mana kah orang-orang ini? Pertanyaan bisa timbul karena orang-orang itu (suku Sama) adalah orang asing yang baru datang di kampung mereka, atau pertanyaan juga bisa muncul karena orang-orang ini (suku Sama) membawa hasil tangkapan ikan yang sangat banyak. Pasti orang-orang ini ahli dan terampil menangkap ikan. Macam-macam pertanyaan bisa muncul di benak penduduk kampung. Pertanyaan yang tak kalah membuat rasa ingin tahu adalah dari manakah asal orang-orang ini?
Pertanyaan: Dari manakah asal kalian?
Mendapat pertanyaan itu, orang-orang Sama ini menjawab “Kami dari Bajoe“.Menerima jawaban “Kami dari Bajoe“, maka dipahami oleh penduduk setempat bahwa orang-orang ini adalah orang Bajoe artinya orang yang berasal dari Bajoe. Lalu terciptalah sebuah penamaan terhadap suku Sama yaitu orang Bajoe atau orang yang berasal dari Bajoe.Jadi, nama Bajo bukanlah sama Suku tetapi nama sebuah daerah di Sulawesi Selatan yaitu di Kelurahan Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Seperti kita ketahui bahwa bahasa daerah menunjukkan identetitas kesukuan. Jadi, tidak ada bahasa Bajoe (mengalami perubahan pengucapan menjasi Bajoe/Bajau) yang ada adalah bahasa Sama.Y ang lebih unik dan menarik untuk dikaji adalah bahasa yang digunakan oleh orang Bajo/Bajau di semua daerah di Indonesia adalah sama bentuk bahasanya baik kata maupun struktur kalimatnya, bahkan sama juga dengan bahasa Bajo yang digunakan oleh penduduk suku Bajau/Bajau di negara-negara lain seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Brunai, Myanmar, Maldives, Afrika Selatan, dan Negara lainnya. Yang membedakan hanya pada dialek dan variasi bahasa karena terpengaruh oleh penduduk lokal tempat suku Bajau berdomisili akibat dari akulturasi.
Demikianlah asal-usul orang Sama, dikenal sebagai orang Bajo/Bajau dan penamaan suku Bajo/Bajau pada suku Sama sebagai orang Bajo/Bajau meski sebenarnya tidak ada bahasa Bajo/Bajau tetapi bahasa Sama. Orang Indonesia sudah mengenal suku Sama ini dengan sebutan suku Bajo atau Bajau.
C. Pemertahanan Bahasa Bajau
Orang Bajau banyak tinggal di kawasan sepanjang pesisir teluk Bone di Bajoe sejak ratusan tahun silam. Sebenarnya orang Bajau/Bajau banyak tersebar hampir di garis pantai segala penjuru Nusantara, seperti Sulawesi, Kalimantan Timur, Kangean, Bali, Sumbawa, Jawa Timur, Sabah Malaysia, Kepulauan Sulu Filiphina di Thailand, Vietnam, Brunai, Myanmar, Maldives, Afrika Selatan dan lain sebagainya.
Karena kebiasaan hidup mereka di laut, sehingga sejak beratus-ratus tahun masa silam mereka telah tersebar-sebar ke mana. Akibatnya banyak terjadi dialek-dialek di antara suku Bajo, beberapa di antaranya ada yang terpengaruh bahasa mayoritas di tempat mereka berada, seperti orang Bajo di Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan terpengaruh bahasa dan adat istiadat Bugis dan Makasar, di Sulawesi Tenggara terpengaruh bahasa dan adat istiadat Buton, sedangkan di Sabah Malaysia terpengaruh bahasa dan adat istiadat orang Melayu Sabah.
Lebih uniknya lagi, bahasa Bajo, seluruh bahasa dan dialek bahasa Bajau, bersama bahasa Sama di Filipina, dikelompokkan ke dalam Rumpun bahasa Borneo, yaitu Barito Besar.
Mengapa Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional justru menurunkan peran atau fungsi bahasa daerah sebagai bahasa etnik? Apa yang harus dilakukan oleh pengguna bahasa Bajo agar bahasa Bajo sebagai bahasa etnik yang tersebar di Nusantara tidak tergerus oleh Bahasa Indonesia yang semakin berkembang sebagai bahasa Nasional saat ini?
Pertanyaan diatas muncul dalam benak penulis mengingat eksistensi bahasa daerah, dalam hal ini Bahasa Bajo, di daerah tempat tinggal penulis mengalami degradasi atau penurunan fungsi. Dewasa ini Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional justru menurunkan pamor atau peran bahasa Bajo sebagai bahasa etnik. Banyak anggota masyarakat Bajo di daerah saya mulai dari ibu-ibu muda, remaja, hingga anak-anak menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Sedangkan kelompok orang tua baik laki-laki maupun perempuan masih tetap mempertahankan penggunaan Bahasa Bajo sebagai bahasa keseharian dan sarana untuk berkomunikasi antara sesama.Fenomena tersebut memiliki segi positif maupun negatif.
Di satu sisi, Bahasa Indonesia berkembang dengan baik dan digunakan oleh setiap elemen masyarakat baik tua dan muda di desa maupun di kota. Ini artinya, Bahasa Indonesia semakin menunjukkan eksistensinya sebagai simbol nasionalisme Bangsa Indonesia. Hal ini menjadi tolok ukur bahwa nasionalisme bangsa Indonesia tidak dapat diganggu gugat dan dicerai-berai dari segi kebahasaan. Meskipun, jika dilihat dari luar bangsa Indonesia merupakan bangsa multietnik karena terdiri dari berbagai macam suku.Namun di sisi lain, kerberadaan bahasa daerah khususnya Bahasa Bajau mulai bergeser. Masyarakat cenderung memakai Bahasa Indonesia disetiap aspek kehidupan. Jika beberapa dekade yang lalu Bahasa Indonesia hanya digunakan pada situasi formal seperti pada bidang pendidikan, pemerintahan, maupun kesehatan saat ini sebagian besar komponen masyarakat telah menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Mereka beranggapan penggunaan Bahasa Indonesia mencerminkan keadaan sosial penggunanya yang lebih berpendidikan dan secara ekonomi lebih mapan. Lebih lanjut, hegemoni yang berkembang di masyarakat menggambarkan jika penggunaan bahasa Bajau dianggap mencerminkan penggunanya yang kurang berpendidikan, dan berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Jika hal ini terus berlanjut dan bertahan dari masa ke masa, maka semakin lama masyarakat Bajo mulai meninggalkan bahasa Bajo untuk berkomunikasi.
Masyarakat Bajau lebih memilih menggunakan dan mengajarkan Bahasa Indonesia kepada anak cucu mereka karena faktor sosial dan budaya masyarakat lokal sebagai kelompok masyarakat mayoritasi. Hal ini akan menimbulkan permasalahan, dimana bahasa Bajo sebagai bahasa etnik atau bahasa daerah yang menjadi simbol kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia lama kelamaan akan punah seiring dengan berkurangnya pengguna bahasa daerah tersebut.
Dalam tulisan kali ini, penulis akan mencoba memberikan solusi dengan dukungan dari berbagai sumber terkait dengan sikap kebahasaan oleh pengguna bahasa agar bahasa etnik yang menjadi ciri khas kebudayaan mereka dapat dipertahankan dan dilestarikan. Tindakan ini juga harus dibarengi dengan tidak meninggalkan dan mengembangkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Sehingga perkembangan Bahasa Indonesia akan terus berjalan seiring dengan lestarinya bahasa daerah sebagai ciri khas kebudayaan Indonesia.
Sumarsono dalam bukunya Sosiolinguistik (2002:76) menyatakan bahwa masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat aneka bahasa ini terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat, sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society).Kebanyakan bangsa di dunia memiliki lebih dari satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu dalam wilayah yang dihuni bahasa itu. Termasuk di dalam negara-negara tersebut adalah Indonesia. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 500 bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu di setiap dearah yang memiliki penggunanya masing-masing.Keanekabahasaan dalam suatu negara selalu menimbulkan masalah atau paling tidak mengandung potensi akan timbulnya masalah (Sumarsono, 2002:78).
Meskipun Indonesia hanya memiliki satu bahasa sebagai bahasa Nasional, namun bahasa daerah di Indonesia sangat beragam. Masing-masing bahasa daerah tersebut menjadi bahasa ibu bagi masing-masing penduduk di daerah tertentu. Dengan kata lain, masing-masing bahasa memiliki masing-masing pengguna bahasa yang berbeda satu sama lain. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Sumarsono (2002, 164) bahwa sebuah negara kadang-kadang hanya mengenal satu dua bahasa, tetapi banyak negara yang secara linguistik terpilah pilah, sehingga tidak mustahil setiap anak menjadi dwibahasawan (blingual) atau anekabahasawan (multilingual).
Penguasaan dua atau lebih bahasa dwibahasa atau multibahasa merupakan suatu keterampilan khusus. Dwibahasa atau multibahasa merupakan istilah-istilah nisbi selama para individu memang sangat beraneka ragam dan berbeda dalam hal tipe dan taraf kemahiran berbahasa (Encyclopedia Britannica, 1965 dalam Tarigan, 1984:4).
Bilingualisme adalah pengawasan yang mirip asli terhadap dua bahasa. Tentu saja seseorang tidak akan dapat membatasi taraf kesempurnaan yang merupakan wadah seorang pembicara asing yang baik menjadi seorang dwibahasawan: pembedaan itu sangat relatif (Bloomfield, 1933 dalam Tarigan, 1984:4). Kedwibahasaan atau bilingualisme secara praktis ada pada setiap negara di dunia, pada semua lapisan masyarakat dan pada semua kelompok usia (Grosjen, 1982 dan Mc Laughin, 1984:1 dalam Tarigan, 1984:13).
Secara Sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain (McKey, 1962 dan Fishman, 1975 dalam Chaer, 2004:84) Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu yakni bahasa ibunya atau bahasa daerah dan bahasa keduanya, dalam hal ini bahasa Indonesia. Sehingga, perlu proses pembelajaran untuk menguasai dengan baik penggunaan bahasa kedua dalam hal ini Bahasa Indonesia disamping bahasa daerah sebagai bahasa ibu mereka.
Fenomena kedwibahasaan merupakan suatu yang sepenuhnya bersifat nisbi atau relatif. Oleh karena itu, kita akan mempertimbangkan atau menganggap kedwibahasawan sebagai penggunaan secara berselang-seling dua bahasa atau lebih oleh pribadi yang sama (Mackey, 1962).
Masalah yang timbul adalah setiap anak-anak diwajibkan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di bidang pendidikan, sedangkan di lain pihak mereka kembali menggunakan bahasa daerah mereka ketika tidak berada di bangku sekolah. Inilah yang terjadi pada beberapa dekade yang lalu, dimana Bahasa Indonesia belum berkembang dengan baik sebagai bahasa Nasional. Sebaliknya, apa yang terjadi saat ini adalah Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar yang digunakan baik di bidang formal maupun informal, dalam artian, bahasa ini juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dalam kehidupan sehari-hari memang sangat penting, namun melestarikan penggunaan berbahasa daerah juga tidak boleh ditinggalkan bagi setiap individu dimana bahasa etnik itu digunakan. Ditambah dengan kebijakan baru pemerintah untuk mempelajari bahasa asing, sebagai contoh Bahasa Inggris, dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah. Hal ini tentu menjadi beban yang berat bagi setiap anak, dimana mereka harus menguasai paling tidak tiga bahasa diusia mereka yang sudah melewati critical period, masa dimana seseorang dapat belajar bahasa dengan baik. Sehingga perlu pembatasan dan penyelarasan agar setiap anak dapat berbahasa dengan baik sesuai dengan konteks bahasa apa yang harus digunakan. Kapan dan dimana seharusnya anak menggunakan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Berdasarkan kesadaran atas pentingnya nasionalisme, maka perkembangan rasa nasionalisme terasa lebih sulit bagi negara anekabahasa dari pada negara ekabahasa (Sumarsono, 2002:174).
Negara anekabahasa ini dapat mendekati masalah ini dengan dua cara: 1) mereka dapat berusaha mengembangkan bahasa nasional, atau 2) mereka dapat mencoba mengembangkan nasionalisme tidak berdasarkan bahasa. Sebagian besar negara mengambil cara pertama termasuk Indonesia. Untuk itulah, Pemerintah Indonesia mulai menggalakkan pentingnya berbahasa Indonesia bagi setiap warganya di seluruh penjuru negeri. Namun, masalah yang muncul adalah bagaimana warga yang bukan penutur asli bahasa X harus menyesuaikan dengan menggunakan bahasa tersebut dengan baik.
Selain itu, bagaimana cara mereka menggunakan bahasa nasional yang baik namun tetap mempertahankan eksistensi bahasa ibu mereka. Hal ini bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini menyangkut pada pergeseran bahasa, pemertahanan bahasa, dan sikap berbahasa.
Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain (Chaer, 2004:142). Kalau seorang atau sekelompok orang penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah pergeseran bahasa ini (Chaer, 2004:142). Pergeseran bahasa yang dimaksud disini adalah apabila ada sekelompok orang atau individu berpindah tempat dari tempat asalnya ke tempat yang lain, dimana tempat yang baru ini memiliki bahasa yang berbede dengan bahasa ibu mereka, maka lama kelamaan orang yang tinggal ditempat baru tersebut akan menggunakan bahasa dimana mereka tinggal. Jika keadaan ini terjadi di Indonesia, maka dapat dengan mudah digunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Namun, jika dalam keseharian anggota masyarakat di lingkungan yang baru ini banyak menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi, mau tidak mau pendatang baru ini akan menggunakan sedikit demi sedikit bahasa di tempat asal. Dan lama kelamaan apabila bahasa ibu mereka sudah tidak lagi digunakan, maka terjadilah pergeseran bahasa dari bahasa ibu mereka ke bahasa dimana mereka tinggal.
Hal inilah yang sedikit banyak mempengaruhi perubahan penggunaan bahasa daerah akhir-akhir ini khususnya Bahasa Bajau. Sebagai contoh fenomena perubahan bahasa Bajau di empat desa (Desa Langara Indah, Desa Langara Bajo, Desa Tanjung batu, dan Kelurahan Langara Laut) di Kecamatan Wawonii Barat sebagai ibukota Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) Sulawesi tenggara, Kabupaeten Konawe Kepulauan mendiami pulau Wawonii, yaitu sebuah pulau yang baru 1 tahun menjadi Daerah Otonomi Baru (2014) dan menjadi sasaran pendatang untuk mencari pekerjaan atau orang-orang yang berasal dari instansi lain dari berbagai daerah karena dipindahtugaskan dalam rangka untuk menduduki kekosongan jabatan di daerah kabupaten yang baru terbentuk tersebut. Karena banyaknya pendatang baru yang tinggal dan bersinggungan dengan penduduk suku Bajo, maka dipilihlah Bahasa Indonesia untuk menjembatani perbedaan bahasa daerah antara pendatang baru dengan penduduk suku Bajo.
Jika kondisi seperti ini berjalan terus menerus dan berkesinambungan, maka lama kelamaan sebagian besar penduduk Bajo akan menggunakan Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan pendatang baru yang mulai banyak tinggal di Kecamatan Wawonii Barat sebagai Ibukota Kecamatan. Penduduk suku Bajo pun akan lebih memilih mengajarkan dan menggunakan bahasa Indonesia kepada anak-anak mereka. Hal ini untuk memudahkan pengajaran dan penggunaan bahasa Indonesia. Akibatnya, Bahasa Bajo mulai jarang digunakan dan diajarkan kepada generasi selanjutnya.Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran/ transmigran untuk mendatanginya (Chaer, 2004:144).
Fishman (1972) telah menunjukkan terjadinya pergeseran bahasa para imigran di Amerika. Keturunan ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah tidak mengenal lagi bahasa ibunya (B1). Danie (1987) dan Ayotrahaedi (1990) melaporkan ada pergeseran bahasa yang menyebabkan kepunahan bahasa di tempat bahasa itu digunakan karena tidak ada lagi penuturnya atau penuturnya secara drastis sudah sangat berkurang. Hal inilah yang bisa terjadi pada bahasa daerah dimana penggunanya sudah mulai beralih menggunakan Bahasa Indonesia.Proses pergeseran bahasa yang dijabarkan oleh Fishman diatas, secara tidak langsung turut mengakibatkan kepunahan bahasa disuatu tempat. Adanya pendatang baru yang lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia, menyebabkan penduduk asli juga menggunakan Bahasa Indonesia. Lama-kelamaan seiring bertambahnya pendatang dan faktor sosial bahasa Indonesia ini lebih diminati karena tidak mempersulit untuk diajarkan kepada anak. Dalam penelitiannya di wilayah Minahasa Timur, Sulawesi Utara Danie (1987) menemukan adanya bahasa daerah yang pemakainya dan penuturnya sudah sangat menurun.
Penyebab penurunan pengguna bahasa ini antara lain adalah a) bahasa Melayu Manado merupakan bahasa yang berprestise tinggi di daerah itu, b) bahasa Melayu Manado sudah lama berfungsi sebagai lingua franca di daerah itu, c) kebutuhan akan bahasa pengantar, Bahasa Indonesia, bagi anak-anak untuk memasuki sekolah, dan d) berkembangnya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa nasional di daerah itu. Dalam kasus ini, bahasa Melayu Manado memiliki jenis dan bentuk bahasa yang tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia, sehingga semua keluarga mendidik anak-anaknya berbahasa Indonesia sejak kecil, walaupun yang diajarkan bahasa Melayu Manado.Berbeda dengan penelitian Danie dimana bahasa Melayu Manado memiliki struktur yang tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia, bahasa Bajo juga dapat mengalami kepunahan karena berkurangnya pengguna bahasa Bajau. Penyebabnya sama seperti dengan penyebab kepunahan bahasa Melayu Manado pada poin (c) dan (d) di atas. Kebutuhan berbahasa Indonesia sebagai pengantar dalam bidang pendidikan, mengharuskan anak-anak untuk dapat menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Terlebih kemajuan teknologi informasi baik elektronik maupun media cetak yang semakin pesat saat ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya. Sehingga, kebutuhan untuk berbahasa Indonesia sangat penting dan mendesak. Penggunaan bahasa daerah, kemudian, dianggap kurang penting karena seluruh sumber informasi dan ilmu pengetahuan disajikan dengan pengantar Bahasa Indonesia. Meskipun, ada juga pengetahuan yang dapat diperoleh dengan pengantar bahasa daerah.Peristiwa pergeseran bahasa ini dapat terjadi dimana-mana di muka bumi ini mengingat dalam dunia modern sekarang arus mobilitas penduduk sangat tinggi. Wilayah, daerah atau negara, yang memberi harapan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik diserbu dari mana-mana, sedangkan yang prosesnya suram segera ditinggalkan (Chaer, 2004:146).
Sama halnya dengan daerah seperti apa yang memungkinkan terjadinya pergeseran bahasa, bahasa yang memberi prospek untuk kehidupan yang lebih baik akan terus digunakan dan dikembangkan namun, bahasa yang tidak memberi jaminan kehidupan yang lebih baik akan ditinggalkan dan tidak digunakan. Hal ini dapat dicontohkan dengan Bahasa Inggris dan bahasa daerah. Pembelajaran Bahasa Inggris lebih menguntungkan dari pada Bahasa daerah, karena dengan bahasa asing kesempatan untuk menguasai dunia global lebih baik dari hanya sekedar belajar bahasa daerah. Penggunaan bahasa ibu atau bahasa pertama oleh sejumlah penutur dari suatu masyarakat yang bilingual atau multilingual cenderung menurun akibat adanya bahasa kedua yang mempunyai fungsi yang lebih superior (Chaer, 2004:146).Namun, kedwibahasaan masyarakat bukanlah satu-satunya penyebab pergeseran bahasa. Hampir semua kasus pergeseran bahasa terjadi melalui alih generasi dan menyangkut lebih dari satu generasi. Jarang terjadi sejumlah individu dalam suatu masyarakat menanggalkan dan mengganti bahasa dengan bahasa lain dalam kurun hidupnya (Sumarsono, 2002:235). Ini artinya, setiap individu tidak mungkin mengalami pergeseran bahasa dalam hidupnya. Pergeseran bahasa terjadi dalam konteks yang lebih luas yaitu pergeseran oleh alih generasi. Jadi pergeseran bahasa tidak dapat dinilai dari satu orang individu atau kelompok melainkan dari generasi ke generasi. Sehingga, dalam kurun waktu yang lama pegseran bahasa dapat dilihat, hingga akhirnya bisa saja terjadi kepunahan bahasa.
Pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, pergeseran bahasa mengacu kepada bahasa yang tergeser oleh bahasa yang lain. Di lain sisi, pemertahanan bahasa merujuk pada suatu bahasa yang tidak tergeser oleh bahasa yang lain. Kedua kondisi itu merupakan akibat dari pilihan bahasa dalam jangka panjang (paling tidak tiga generasi) dan bersifat kolektif (dilakukan oleh sebagian warga) (Sumarsono, 2002:231).
Dalam pemertahanan bahasa, sekelompok pengguna bahasa memilih untuk tetap melanjutkan menggunakan bahasa ibunya meskipun suadah ada bahasa kedua yang masuk kedalam komunitas tersebut.Adakalanya, pengunaan bahasa ibu atau bahasa pertama yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua yang lebih dominan (Chaer, 2004:147). Sumarsono (1990) melaporkan tentang pemertahanan bahasa melayu Loloan di desa Loloan termasuk dalam wilayah kota Nagara Bali. Mereka berhasil mempertahankan penggunaan bahasa Melayu Loloan yang berasal dari nenek koyang mereka yang berasal dari Bugis dan Pontianak ditengah-tengah masyarakat Bali yang menggunakan Bahasa Bali sebagi bahasa ibu.
Hal tersebut di atas dapat bertahan karena beberapa faktor. Faktor tersebut ialah 1) wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara geografis agak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali, 2) adanya toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan, 3) anggota masyarakat Loloan mempunyai sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap masyarakat, budaya, dan Bahasa Bali, 4) adanya Loyalitas terhadap bahasa Melayu Loloan sebagai lambang identitas diri masyarkat Loloan, 5) adanya kesinambungan pengalihan bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya (dalam Chaer, 2004:147).
Selain bahasa Bali, bahasa yang lebih tinggi dari bahasa Melayu Loloan adalah Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Masyarakat Loloan pun tidak berkeberatan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan keagamaan, karena tidak ada konotasi keagamaan dalam Bahasa Indonesia. Banyak ranah sosial yang tadinya menggunakan bahasa Melayu dan Bahasa Bali berubah menggunakan Bahasa Indonesia.Warga Melayu Loloan akan menggunakan bahasa Indonesia jika tetangganya bukan merupakan kelompok guyup Melayu Loloan. Namun, pada generasi muda, interaksi antara sesama didominasi oleh bahasa Indonesia. Dalam dunia pendidikan, pemertahanan bahasa Melayu Loloan ini melemah. Terlebih apabila dominasi warga Loloan lebih sedikit dari pada siswa non-Loloan (Sumarsono, 2002:276-277).
Dari hasil penelitian Sumarsono tersebut, didapatkan hasil jika penggunaan Bahasa Melayu Loloan ini masih kuat jika antara pembicara dan pendengar didominasi oleh warga Loloan. Namun, penggunaan ini akan melemah jika terdapat beberapa lawan bicara yang bukan berasal dari warga Loloan.Dari laporan ini dapat disimpulkan jika penguasaan terhadap bahasa kedua, dalam hal ini bahasa Bali, tidak serta merta menggeser bahasa pertama atau bahasa Melayu Loloan. Penguasaan bahasa kedua yang baru dalam hal ini Bahasa Indonesia tidak lalu menggeser bahasa pertama hanya mengurangi peran bahasa kedua yang lama yaitu Bali.
Dari laporan Sumarsono diatas dapat disimpulkan jika, kemungkinan punahnya Bahasa Melayu Loloan belum jelas dan belum dapat dilihat sekarang. Sebab pergeseran dan proses kepunahan bahasa itu memerlukan waktu yang tidak singkat dan melalui beberapa generasi (Chaer, 2004:148). Hal ini juga dipengaruhi oleh sikap dan keputusan berbahasa dari pengguna bahasa itu sendiri. Mereka menyepakati untuk terus menggunakan bahasa pertama mereka atau beralih ke bahasa kedua. Hal ini dapat digunakan sebagai acuan untuk mempertahankan bahasa daerah yang lain agar tidak tergerus dan tergeser dari perkembangan bahasa yang dinilai masyarkat lebih modern dan prestisius.Pemertahanan bahasa daerah baik dari bahasa nasional maupun bahasa asing tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya peran dan kontribusi pengguna bahasa daerah itu sendiri.
Keberlangsungan bahasa daerah ini memerlukan sikap positif yang melandasi pengguna bahasa akan norma-norma penggunaan bahasa. Garvin dan Mathiot dalam Chaer (2004 : 152) mengemukakan sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini antara lain; 1) kesetiaan bahasa yakni sikap yang mendorong masyarakat suatu bahasa memepertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain, 2) kebanggaan bahasa yakni sikap yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakan sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, 3) kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa.
Sebaliknya, apabila ketiga sikap ini mulai melemah dan tidak ada dalam seorang pengguna bahasa, maka pengguna bahasa ini dapat dikatakan seorang pengguna bahasa yang buruk. Sikap pengguna bahasa yang buruk ini dapat digambarkan dengan rasa ke-takbangga-an terhadap bahasa yang dipakainya. Rasa ketakbanggaan ini dipengaruhi oleh faktor gengsi, budaya, ras, etnis atau politik (Sikap ini akan tampak dalam keseluruhan tindak tuturnya, seperti mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib dan tidak menggunakan kaidah yang berlaku.Paragraph
Pada akhirnya sampailah kita pada simpulan bahwa keberlangsungan suatu bahasa akan nihil hasilnya jika tidak ada peran serta dan penggunaan bahasa yang baik oleh pengguna bahasa itu sendiri. Akan tetapi pengguna bahasa memiliki caranya masing-masing untuk memilih bahasa apa yang akan digunakan dan mana yang tidak. Sehingga, dari sejarahlah nanti kita akan melihat apakah suatu bahasa akan tetap bertahan atau tidak. Begitu juga yang terjadi dengan berbagai bahasa daerah sebagai bahasa etnik yang dimiliki oleh Indonesia. Di tangan kita lah bahasa ini akan terus hidup dan berkembang. Namun di tangan kita pula lah bahasa ini akan mati dan hanya akan ada dalam cerita dan sejarah. Untuk itulah sebagai generasi yag bijak akan lebih baik jika kita terus mewariskan warisan bahasa budaya ini hingga dapat dinikmati juga oleh anak cucu dan generasi mendatang.
Tulisan di atas pernah di muat dalam blogspot Erni Bajo. dan di www.bajauindonesia.com Semoga bermanfaat