
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Tenggara telah menetapkan Pilkada serentak di Tujuh Kabupaten di Sultra pada 9 Desember 2020. Para calon kepala daerah, calon bupati maupun calon wakil bupati akan bertarung menjual program, gagasan/ide, visi misi, kepada rakyat pemilih untuk mendapat dukungan dan simpati.
Hal miris dan menyedihkan namun tak dapat dihindari adalah adanya upaya “Tim Sukses Ala-Ala” yang menggencarkan aksinya dengan bertindak berlebihan menjual janji, menjual program, menciptakan kebohongan, merekayasa kata-kata harapan yang meluap tumpah ruah, membuat kita berpikir “Kenapa bukan orang ini saja yang jadi Bupati”.
Tidak haram dan bukan dosa seorang Timses menjual janji dan mensosialisasikan program calon kepala daerah yang didukungnya, namun saat ini, banyak Timses bertindak sebagai dewan juri, tim penilai keberhasilan atau kegagalan calon kepala daerah, menebar isu sarat muatan kebencian, penghinaan, merendahkan, menggunakan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA), menggunakan identitas satu suku, satu kampung, satu nenek moyang, bahkan sama warna kulit, untuk menjatuhkan lawan politik.
Di tangan Timses jugalah biasanya rasa simpati rakyat beralih jadi antipati pada figur yang dijagokannya, atau sebaliknya, di tangan Timses jugalah rasa antipati rakyat berubah jadi simpati.
Di tangan Timses pula lah, rakyat sering teradu domba, harmonisasi hubungan antarkeluarga, antarumat beragama, hubungan relasi dan pertemanan jadi rusak.

Fenomena tindakan Oknum Timses yang gagal memperjuangkan calon kepala daerah jago-jagonya yang saya anggap lucu adalah; ada yang memutus tumpangan saluran pipa air atau aliran listrik di rumah warga karena warga itu tidak memilih calon bupati jagoannya, membombe (tidak mengajak bicara) warga satu lingkunganya, mengusir warga yang mendiami tanahnya, memutuskan pertunangan anaknya, bahkan ada salah satu Timses yang pindah langganan cukur rambut karena diketahuinya tukang cukur rambutnya itu tidak memilih calon bupati yang diperjuangkannya. Seorang ibu-ibu yang lebih memilih jalan memutar sepuluh kali lipat menuju warung untuk beli sembako daripada ke warung samping dekat rumahnya yang pemiliknya ketahuan tidak mendukung calon bupati idolanya.
Selain isu politik identitas yang digaungkan dalam arena kampanye pilkada, hal lain yang tidak kalah ngeri-ngeri sedapnya adalah hak-hak demokrasi rakyat yang dirampas dengan money politics. Tidak main-main, tiga bulan sebelum hari pemungutan suara, ibu-ibu, bapak-bapak, para pemuda kampung sudah membahas jumlah nominal rupiah isi amplop atau “serangan fajar” calon A atau calon B. Timses sudah gencar melempar isu baku tindis isi amplop. Jika calon A serangan fajarnya seratus ribu, maka calon B menaikkannya jadi seratus sepuluh ribu, tidak apa-apa sedikit tambahannya, yang penting ada lebih-lebihnya, yang paling tinggi serangan fajarnya dijamin dialah yang dipilih.

Ada ibu-ibu yang menolak menerima uang serangan fajar dari Timses X meski jumlahnya lebih banyak, alasannya, dia takut ketahuan oleh Timses Y yang memberikannya uang lebih dulu. Dengan polosnya si Ibu mengatakan “Saya takut kalau sudah ambil uangnya lalu tidak menyoblosnya, kata Timsesnya saya bisa dipenjara karena sudah terima uang tapi tidak menyoblos dia”. Ini menurut saya pembodohan publik yang sangat konyol.
Saya pernah mendengar salah satu warga yang rumahnya berhasil memasang saluran siaran TV kabel dari uang serangan fajar. Saya pernah mendengar ada warga yang tidak menutup pintu rumahnya selama tiga hari menjelang penceblosan karena mengharap ada Timses yang datang bawakan amplop, namun sampai tengah hari pulang dari TPS usai dia menyoblos, pintu rumahnya masih terbuka lebar dan tak seorang pun Timses yang datang beri amplop, ternyata beredar kabar bahwa si Bapak ini tak sengaja mengaku sering mencoblos semua foto calon yang ada di kertas suara.
Para calon kepala daerah sebaiknya mewanti-wanti Timsesnya agar mengendalikan sikap dan emosi, tidak menggunakan isu SARA dan politik identitas di media sosial untuk meraup suara. Menyiapkan diri dan sanggahan ketika ada oknum yang sengaja menyebar kampanye hitam oleh orang tak bertanggung-jawab di jejaring media sosial yang sangat merusak keharmonisan hidup bermasyarakat
Media sosial berkontribusi besar sebagai penyebaran informasi pendidikan politik yang baik, namun sering disalahgunakan sebagai alat pemecah belah yang berbahaya, Timses dimohon untuk bijak menggunakan medsos dalam mengampanyekan calon kepala daerah jago-jagonya.